Dalam
berbagai transaksi keuangan / finansial, baik dalam bisnis, investasi secara
konvensional (non-syariah) tidak terlepas dari simple interest atau
bunga sederhana. Bagaimana perhitungan dan penerapannya?
Secara
definitif, simple interest (bunga sederhana) merupakan bunga yang
dibayarkan hanya terhadap pinjaman pokok, tanpa efek pemajemukan (compounding).
Bagaimana menghitung simple interest atau bunga
sederhana ini?
Bunga
sederhana dihitung dengan mengkalkulasi pinjaman pokok dikali tingkat bunga per periode waktu dikali jumlah periode waktu. Rumusnya yaitu:
I = P x i
x n
dengan:
I = bunga sederhana (dalam kurs tertentu, misal dolar)
P = jumlah pinjaman pokok pada saat ini
i = tingkat bunga (interest rate) per periode waktu
n = jumlah periode waktu
Contoh 1.
Simple interest (bunga sederhana) dari pinjaman sebesar $1.000 pada tingkat
bunga 9%, dengan jangka waktu 9 bulan adalah:
I = P x i
x n
= $1.000 x 9% x 9/12
= $67,50
Contoh 2.
Andi Malarangeng menerima $50 setiap bulannya dari dana obligasi (bond fund)
yang memberikan bunga tahunan sebesar 9%. Berapa banyak yang diinvestasikan
dalam bond fund tersebut?
Karena P
tidak diketahui, rumus diubah untuk mencari P, yaitu:
P = I :
(i x n)
= 50/0.09 x 1/12
= 50/0.0075
= $6.666,67
Compound Interest (Bunga
Berbunga) adalah bunga yang dihitung atas
jumlah pinjaman pokok ditambah bunga yang diperoleh
sebelumnya.
Compound
Interest mengacu pada pembayaran bunga atas pokok dan bunganya yang
selalu terakumulasi dari waktu ke waktu. Compound Interest Berbeda
dengan Simple Interest (Bunga Tunggal) yang hanya menghitung
berdasarkan pinjaman pokoknya saja.
Simple Interest dan Compound
Interest memiliki perbedaan yang sangat jauh bila diaplikasikan dalam
jangka panjang. Menurut Albert Einstein, compound interest adalah
sebuah keajaiban dunia yang bisa membuat seseorang menjadi kaya dengan
melipatgandakan uangnya melalui Compound Interest.
Compound Interest artinya
bunga (interest) dari investasi Anda akan berbunga, dan hasilnya akan
berbunga lagi sehingga pertumbuhannya bukan lagi linear tapi eksponensial.
Contohnya,
jika seseorang menyimpan uangnya di bank sebesar Rp1.000.000 pada tingkat bunga
10% pertahun, pada akhir tahun pertama, orang tersebut akan menerima bunga
sebesar Rp100.000, sehingga uangnya menjadi Rp1.100.000.
- Pada
kasus Simple Interest, bunga Rp100.000 tersebut tidak digabungkan
dengan pokok pinjaman untuk dihitung dalam perhitungan bunga di tahun
berikutnya.
- Berbeda
dengan Compound Interest, bunga Rp100.000 yang didapatkan
digabungkan dengan pinjaman pokoknya dalam menghitung bunga tahun
berikutnya.
Dengan Compound
Interest, pembayaran bunga terus ditambahkan ke pokok simpanan dan pokok
yang sudah ditambahkan ini akan terus mendapatkan bunga. Berikut adalah tabel
perbedaan Simple Interest dan Compound Interest bila dalam contoh
seorang menyimpan uang sebesar Rp1.000.000, dengan bunga 10% per tahun, selama
10 tahun.
Pengertian
Anuitas (Annuity)
Pengertian
Anuitas (Annuity) adalah Merupakan suatu rangkaian pembayaran atau penerimaan
secara cicilan yang pada umumnya sama besarnya serta dibayarkan setiap masa
tertentu dan masing-masing jumlahnya terdiri dari bagian pokok pinjaman serta
bunganya.
Perhitungan Anuitas
(Annuity)
Perhitungan
Anuitas (Annuity) biasanya digunakan untuk :
1. Perhitungan bunga atas suatu
pinjaman, yaitu dengan system Anuitas maka dapat diketahui berapa besarnya uang
yang harus dibayarkan untuk membayar bunga serta pokok pinjaman selama jangka
waktu pinjaman.
Contoh Kasus
Mahesa Anjani bermaksud
meminjam uang ke Bank dengan pinjaman sebesar Rp.5.000.000,00 untuk jangka waktu 1 (satu) tahun serta bunga
sebesar 10 %, maka dengan system Anuitas dapat dihitung berapa total pembayaran
bunga dan pokok pinjaman tersebut.
Setelah diketahui jumlah total
bunga dan pokok pinjaman selama 1 tahun, baru kemudian dibuatkan tabel
pembayaran cicilan setiap bulan atas pokok dan pinjaman tersebut.
2. Perhitungan bunga atas suatu
Deposito/Investasi Jangka Panjang, yaitu dengan system Anuitas maka dapat
diketahui berapa besarnya uang yang akan diterima jika kita menyimpan uang
dalam bentuk deposito/Investasi Jangka Panjang yang memberikan imbalan bunga
selama jangka waktu Deposito/Investasi Jangka Panjang tersebut.
Misalnya dengan mendepositokan uang
sebesar Rp.20.000.000,00 untuk jangka
waktu 10 tahun serta bunga sebesar 5 %, maka dengan system Anuitas dapat
dihitung berapa total bunga yang
diterima selama 10 tahun tersebut dan berapa jumlah total uang kita setelah 10
tahun kemudian . Atau yang sering juga digunakan adalah pada tabungan
pendidikan, tabungan hari tua dan lain-lain.
Perlakuan Perpajakan Atas Anuitas (Annuity)
1. Atas pembayaran bunga atas
pinjaman dari bank oleh Wajib Pajak :
a. Bagi Wajib Pajak yang
membayarkan bunga atas pinjaman dari bank dapat dikurangkan dari penghasilan
bruto sepanjang pinjaman bank tersebut digunakan untuk mendapatkan, menagih,
dan memelihara penghasilan.
Bunga pinjaman dibebankan sebagai
biaya pengurang penghasilan bruto pada saat pembayaran bunga pinjaman tersebut.
Pasal 6 ayat 1 huruf a angka 3
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan
b. Bagi Wajib Pajak yang membayarkan bunga atas
bunga pinjaman dari bank bukan merupakan objek pajak penghasilan Pasal 23.
Bunga pinjaman yang dibayarkan kepada bank tidak
dipotong PPh Pasal 23 oleh Wajib Pajak yang meminjam uang ke bank..
Pasal 23 ayat 4 huruf a Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2008 Tentang Pajak Penghasilan
2. Atas penghasilan bunga deposito
dari bank yang diterima oleh Wajib Pajak :
a. Penghasilan bunga deposito dari
bank yang diterima oleh Wajib Pajak yang menyimpan uang di bank dipotong PPh
Pasal 4 ayat 2 yang bersifat final.
Pasal 4 ayat 2 Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan.
b. Penghasilan bunga deposito
dari bank yang diterima oleh Wajib Pajak yang menyimpan uang di bank dilaporkan
di SPT Tahunan Pajak Penghasilan sebagai penghasilan yang bersifat final.
Perbandingan
konsep Time
Value of Money dengan Economic
Value of Time
Hal utama yang membedakan konsep time value of money dengan economic value of time adalah pada konsep time value of money dasar perhitungan
pada kontrak adalah berdasarkan bunga, sedangkan dasar perhitungan pada konsep economic value of time adalah nisbah. Konsep economic value of time dalam perhitungannya dapat menggunakan konsep revenue
sharing atau profit sharing. Konsep revenue sharing atau profit sharing akan sangat berdampak pada tingkat nisbah yang
menjadi perjanjian pada kontrak kerjasama. Konsep cost of fund dalam economic value of time menggunakan Islamic
Security Market Line dengan variabel risk free
= 0. Adapun value dari pembiayaan
atau investasi yang dilakukan
menggunakan metodologi Net Present Value at Risk.
Misalkan dalam hal penentuan nisbah bagi
hasil, return on capital harus diperhitungkan dalam hal ini return on capital
tidak sama dengan return on money. Return on capital sangat tergantung
pada jenis bisnisnya dan berkaitan dengan sektor riil. Sedangkan return on money sangat berkaitan dengan interest rate. Penentuan nisbah bagi
hasil dilakukan diawal kerjasama dan mmenggunakan project return sebagai dasarnya.
Apabila ternyata actual return
dari investasi yang dibiayai tidak sama dengan proyeksinya karena ada
faktor yang memang tidak dapat diprediksi, maka yang akan digunakan adalah angka actual return bukan angka proyeksi return. Sehingga dalam hal
ini menunjukan bahwa Islam tidak setuju dengan konsep time value of money yang memastikan tingkat keuntungan dimasa yang akan datang.
Waktu akan memiliki economic
value jika dan hanya jika dimanfaatkan untuk kegiatan produktif sehingga
menjadi suatu capital dan memperoleh
suatu return.
yaikh Abu
Bakar Jabir al Jaza'iri di dalam Kitab Minhajul Muslim menjelaskan pengertian
riba. Menurut mantan pengajar tetap di Masjid Nabawi, Madinah itu, Riba adalah penambahan sejumlah harta
yang bersifat khusus. Secara bahasa Riba artinya, penambahan.
Sementara
Sayyid Quthb dalam buku 'Tafsir Ayat-ayat Riba: Mengupas Persoalan Riba Sampai
ke Akar-akarnya' mengatakan tradisi Arab klasik memberi pengertian riba secara
spesifik yaitu penambahan utang akibat jatuh tempo. Pengertian riba secara umum
adalah penambahan nilai barang tertentu dan penambahan jumlah pembayaran pada
utang.
Di dalam
Islam pelarangan riba dilakukan secara bertahap, sama seperti ketika
pemberlakukan haram atas khamr. Sebab di zaman jahiliah, praktik riba sudah
dilakukan secara terang-terangan. Apabila ketika itu dilarang secara langsung
tentu akan menimbulkan penolakan secara frontal. Dan seiring dengan berjalannya
waktu, akhirnya riba benar-benar dilarang secara tegas.
Jabir bin
Abdullah Ra berkata:
"Rasulullah
SAW melaknat pemakan riba dan yang memberi makan riba, juga saksi dan
penulisnya. Semua sama saja." (HR. Muslim, Ahmad, Abu Daud dan At
Tirmidzi).
Macam-macam riba secara umum ada tiga jenis yaitu
riba fadhl, riba nasi'ah dan riba al-yadh. Ini penjelasannya:
1. Riba
fadhl
Riba fadhl adalah tambahan yang ada pada pertukaran barang riba dengan barang
riba sejenisnya. Misalnya: Menjual satu kuintal gandum dengan satu seperempat
kuintal gandum.
2. Riba
nasi'ah
Riba nasi'ah merupakan penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang riba
yang dipertukarkan dengan jenis barang riba lainnya.
3. Riba
al-yadh
Riba al-yadh ialah riba yang terjadi akibat jual beli barang riba yang disertai
dengan penundaan serah terima kedua barang yang ditukar atau ditunda terhadap
penerima riba.
Di dalam
al-qur'an, riba hukumnya haram. Ahmad Sarwat, Lc., MA dalam buku 'Kiat-kiat
Syar'i Hindari Riba' menuliskan pelaku riba akan diperangi Allah SWT di dalam
al-qur'an. Bahkan menjadi satu-satunya pelaku dosa yang dimaklumatkan perang di
dalam al-qur'an adalah mereka yang menjalankan riba.
Berikut alasan
mengapa riba diharamkan dalam Islam:
1. Termasuk tujuh
dosa besar
Riba disebut menjadi salah satu dari tujuh dosa besar yang telah ditetapkan
oleh Rasulullah SAW. Dalam sebuah hadits:
Dari Abi Hurairah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,
"Jauhilah dari kalian tujuh hal yang mencelakakan". Para sahabat
bertanya,"Apa saja ya Rasulullah?". "Syirik kepada Allah, sihir,
membunuh nyawa yang diharamkan Allah kecuali dengan hak, makan riba, makan
harta anak yatin, lari dari peperangan dan menuduh zina." (HR. Muttafaq
alaihi).
2.
Diperangi Allah SWT
Doa harta riba telah diperingatkan dalam al-qur'an. Dalam surat Al-Baqarah ayat
278-279 disebutkan bahwa dosa riba sangat berat. Allah SWT berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ
وَذَرُوا۟ مَا بَقِىَ مِنَ ٱلرِّبَوٰٓا۟ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ
فَإِن لَّمْ تَفْعَلُوا۟ فَأْذَنُوا۟ بِحَرْبٍ مِّنَ
ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ ۖ وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَٰلِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ
وَلَا تُظْلَمُونَ
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah
kepada Allah dan tinggalkan sisa riba jika kamu orang-orang yang beriman. Maka
jika kamu tidak mengerjakan, maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan
memerangimu. Dan jika kamu bertaubat, maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak
menganiaya dan tidak dianiaya." (Qs. Al-Baqarah: 278-279).
3.
Mendapat Laknat dari Rasulullah SAW
Allah SWT telah memberikan perumpamaan kepada orang-orang semacam ini dengan
perumpamaan yang mengerikan. Siapa saja yang memakan riba seperti orang yang
kerasukan setan yang terkena penyakit gila. Allah SWT berfirman,
ٱلَّذِينَ يَأْكُلُونَ ٱلرِّبَوٰا۟ لَا يَقُومُونَ
إِلَّا كَمَا يَقُومُ ٱلَّذِى يَتَخَبَّطُهُ ٱلشَّيْطَٰنُ مِنَ ٱلْمَسِّ ۚ ذَٰلِكَ
بِأَنَّهُمْ قَالُوٓا۟ إِنَّمَا ٱلْبَيْعُ مِثْلُ ٱلرِّبَوٰا۟ ۗ وَأَحَلَّ ٱللَّهُ
ٱلْبَيْعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰا۟ ۚ فَمَن جَآءَهُۥ مَوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّهِۦ
فَٱنتَهَىٰ فَلَهُۥ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُۥٓ إِلَى ٱللَّهِ ۖ وَمَنْ عَادَ
فَأُو۟لَٰٓئِكَ أَصْحَٰبُ ٱلنَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا خَٰلِدُونَ
Artinya: "Orang-orang yang makan (mengambil) riba
tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan
lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah
disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan
riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus
berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu
(sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang
kembali (mengambil riba) , maka
orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.".
(QS. Al-Baqarah [2]: 275).
Beberapa istilah perbankan modern bahkan berasal dari khazanah ilmu fiqih, seperti istilah kredit (English: credit;
Romawi : credo) yang diambil dari istilah qard. Credit dalam bahasa inggris berarti meminjamkan uang; credo berarti kepercayaan; sedangkan qard dalam fiqih berarti meminjamkan uang
atas dasar kepercayaan. Begitu
pula istilah cek (English: check; France : Cheque) yang
diambil dari istilah
saq
(suquq). Suquq dalam bahasa Arab berarti pasar, sedangkan cek adalah alat bayar yang
biasa
digunakan di pasar.
Bank
syariah di Indonesia terhitung masih sangat muda, perkembangannya pun di
Indonesia begitu lambat, sebenarnya pembahasan tentang Bank Syariah sudah pernah dibahas pada tahun
1980-an, namun
realisasinya terjadi
pada
tahun 1992 yang
dilakukan oleh salah satu bank
pemerintah, yaitu
Bank Muamalat Indonesia,
dengan
hukum yang jelas. Pada awalnya perkembangan bank di Indonesia masih bersifat konvensional dalam artian, belum Memiliki standar dari bank syariah sendiri, karena
bank syariah
berbasisi ideologi Islam.
Sedangkan bank
konvensional
berdasarkan ideologi barat
terutama ideologi Amerika dan Eropa.
Secara umum ada beberapa karakteristik yang
membedakan antara bank syariah
dengan bank konvensional :
1.
Bank syariah
tidak menggunakan
bunga
2.
Tidak digunakan
untuk usaha yang haram
3.
Menerima zakat, infaq dan sodaqoh untuk
disalurkan kepada masyarakat yang
membutuhkan, terdapat
8 golongan dalam
Al Qur’an
Pada point pertama, dalam bank syariah tidak menggunakan bunga, melainkan menggunakan konsep bagi hasil dimana jika bank mendapatkan keuntungan maka akan dibagi hasil keuntungan tersebut
dengan para penabung,
jika bank rugi maka para
penabung pun akan rugi. Bank syariah juga tidak serta merta meminjamkan sejumlah uangnya kepada masyarakat secara
tunai melainkan dengan prinsip bagi hasil (mudharabah), prinsip penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual beli (murabahah)
dan prinsip sewa (ijarah).
. Perbedaan antara Bank Syariah dan Konvensional
|
Parameter
|
|
|
Bank Syariah
|
|
|
Bank Konvensional
|
|
Landasan hukum
|
UU
Perbankan dan
Landasan Syariah
|
UU
Perbankan
|
Return
|
Bagi
hasil, margin pendapatan sewa, komisi/fee
|
Bunga, komisi/fee
|
Hubungan dengan
|
Kemitraan, Investor-investor, investor- pengusaha
|
Debitur-kreditur
|
nasabah
|
|
Fungsi
|
dan
|
Intermediasi, manager
investasi,
|
|
Intermediasi,
|
jasa
|
|
kegiatan
Bank
|
investor, sosial, jasa
keuangan
|
|
keuangan
|
|
|
Prinsip
|
dasar
|
Anti riba dan
anti maysir
|
Tidak anti riba dan
maysir
|
|
operasi
|
|
Prioritas
|
|
1.
Tidakbebas nilai
(prinsip
syariah
|
|
1.
Bebas nilai
|
(prinsip
|
pelayanan
|
|
Islam)
|
|
|
materialis)
|
|
|
|
2.
Uang sebagai alat tukar dan bukan
komoditi
3.
Bagi hasil, jual beli, sewa
|
|
2.
Uang sebagai k
3. Bunga
|
omoditi
|
Orientasi
|
Kepentingan publik
|
Kepentingan pribadi
|
Bentuk usaha
|
|
Tujuan social-ekonomi Islam,
|
Keuntungan
|
|
keuntungan
|
|
Evaluasi
nasabah
|
Bank komersial,
bank pembangunan,
bank universal, atau multi purpose
|
Bank komersial
|
Hubungan
|
|
Lebih hati-hati
karena partisipasi
|
Kepastian pengembalian
|
nasabah
|
|
dalam risiko
|
|
pokok dan bunga
|
Suber likuiditas
|
Erat sebagai mitra
usaha
|
Terbatas debitur-kreditur
|
jangka pendek
|
|
Pinjaman
|
yang
|
Terbatas
|
Pasar uang, bank sentral
|
|
diberikan
|
|
Prinsip
usaha
|
Komersial dan nonkomersial,
|
Komersial dan
nonkomersial, berorientasi laba
|
berorentasi laba
dan nirlaba
|
|
Pengelolaan
dana
|
Pasiva ke Aktiva
|
Aktiva ke Pasiva
|
|
Lembaga
|
Pengadilan, arbitrase
|
Pengadilan, Badan
|
|
penyelesaian
|
Arbitrase Syariah
Nasional
|
|
sengketa
|
|
|
Risiko Investasi
|
Dihadapi bersama antara
bank dan nasabah dengan prinsip keadilan
dan kejujuran
Tidak mungkin terjadi negative spread
|
Risiko bank
tidak
terkait langsung dengan debitur,
risiko debitur tidak terkait
langsung dengan bank
Kemungkinan
terjadi
negative spread
|
|
|
|
Monitoring
|
Memungkinkan bank
|
ikut
|
dalam
|
Terbatas pada administrasi
|
|
pembiayaan/Kredi
|
manajemen nasabah
|
|
|
|
t
|
|
|
|
|
Struktur
|
Dewan komisaris,
Dewan Pengwas
Syariah, Dewan
Syaraiah Nasional
|
Dewan
komisaris
|
|
Organisasi
|
|
Pengawas
|
|
Criteria
|
Bankable, Halal
|
Bankable,
|
Halal
|
atau
|
|
pembiayaan
|
haram
|
|
|
|
Sumber: Veitzal Rifai,
Perbedaan ini meliputi aspek legal, struktur organisasi, usaha yang dibiayai, dan
lingkungan kerja.
a.
Akad
dan Aspek Legalitas
Dalam bank syariah, akad yang dilakukan memiliki
konsekuensi duniawi dan
ukhrawi
karena akad yang
dilakukan berdasarkan hukum Islam. Setiap
akad
dalam
perbankan syariah, baik
dalam hal
barang, pelaku
transaksi, maupun ketentuan
lainnya, harus memenuhi ketentuan akad, seperti hal-hal berikut:
i.
Rukun : Penjual,
Pembeli,
Barang,
Harga, Akad/ Ijab Kabul.
ii.
Syarat : misalnya, barang dan jasa harus halal sehingga transaksi
atas barang dan jasa yang
haram menjadi batal demi hukum
syariah.
b.
Lembaga Penyelesaian Sengketa
Jika
pada perbankan syariah terdapat perbedaan atau perselisihan antara bank dan nasabahnya, kedua belah pihak dapat
tidak menyelesaikannya
di peradilan, tetapi menyelesaikannya
sesuai tata cara
dan
hukum materi syariah. (Badan Arbitrase
Nasional : Lembaga yang mengatur hukum materi dan
atau
berdasarkan prinsip
syariah di Indonesia)
c.
Struktur
Organisasi
Bank
syariah dapat memiliki struktur yang
sama dengan bank
konvensional, misalnya dalam hal komisaris dan direksi, tetapi unsur
yang amat membedakan antara
bank syariah dan bank konvensional adalah
keharusan adanya Dewan Pengawas Syariah yang
bertugas mengawasi operasional bank dan produk-produknya agar
sesuai dengan
garis-garis syariah.
d.
Bisnis dan Usaha yang dibiayai
Dalam
perbankan syariah
suatu pembiayaan tidak akan disetujui sebelum dipastikan beberapa hal pokok,
Penyaluran Dana
Dalam menyalurkan dana pada nasabah, secara garis besar produk pembiayaan
syariah terbagi ke
dalam tiga kategori yang
dibedakan berdasarkan tujuan
penggunaannya yaitu:
1. Transaksi
pembiayaan yang
ditujukan untuk memiliki
barang dilakukan
dengan prinsip jual beli.
2. Transaksi pembiayaan
yang ditujukan untuk mendapatkan jasa dilakukan
dengan prinsip sewa.
3. Transaksi pembiayaan
untuk
usaha kerjasama yang ditujukan guna
mendapatkan sekaligus barang dan
jasa, dengan
prinsip bagi hasil.
Pada kategori pertama dan kedua, tingkat keuntungan bank ditentukan di depan dan menjadi bagian harga atas barang atau jasa yang dijual. Produk yang termasuk
dalam kelompok ini adalah produk yang menggunakan prinsip jual-beli seperti murabahah, salam, dan
istishna serta produk yang
menggunakan prinsip sewa yaitu
ijarah.
Sedangkan
pada kategori ketiga, tingkat
keuntungan bank
ditentukan dari
besarnya keuntungan usaha
sesuai dengan prinsip bagi-hasil. Pada produk bagi hasil
keuntungan ditentukan oleh nisbah
bagi
hasil
yang disepakati
di muka. Produk per- bankan yang termasuk ke
dalam kelompok ini adaiah musyarakah
dan mudharabah.
Referensi
Adiwarman A.Karim, Ekonomi Makro Islami (Jakarta:PT.Rajagrafindo
Persada. 2010) Ahmad Ifham Sholihin, Buku Pintar Syariah (Jakarta:PT.Gramedia Pustaka Utama.2010) International Shari’ah Research Academy for Islamic Finance, Islamic
Financial System:
Principles
and Operations, (Kuala Lumpur: Isra, 2012).
Kasmir, Bank dan
Lembaga Keuangan
Lainnya. ed.revisi,
(Jakarta:Rajawali
Pers.2008)
M.Nur Rianto Al Arif, Teori Makroekonomi Islam : Konsep,Teori, dan Analisis (Bandung : ALFABETA.2010)
Muhammad Ayub, Understanding Islamic Finance (Jakarta:PT.Gramedia Pustaka Utama.
2009)
Najmuddin, Manajemen Keuangan dan Aktualisasi Syar’iyyah Modern (Yogyakarta : ANDI Offset. 2011)
Sadono Sukirno, MakroEkonomi: Teori Pengantar, edisi ketiga, Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2006
Veithzal Rivai, et.al,
Islamic
Economic &
Finance ((Jakarta:PT.Gramedia
Pustaka
Utama.2010)
William R. Lasher, Financial Management: a Practical Approach, (USA: Thomson South- Western,
2008)
International Shari’ah Research Academy for Islamic Finance, Islamic Financial System: Principles
and
Operations, (Kuala Lumpur: Isra, 2012), h.90.
Najmuddin, Manajemen
Keuangan dan Aktualisasi Syar’iyyah Modern, h.102